Cerpen "Andai MerekaTahu"
Andai Mereka Tahu
Hampir
setiap hari setelah pulang sekolah Rani selalu meninggalkan rumah tanpa pamit. Setiap
kali Rani melangkah yang dipikirkannya hanya bagaimana cara untuk pergi dari
keluarganya, karena setiap ia pulang hanya marah yang menyambutnya. Kini Rani
kelas 3 SMA, ayah
serta ibu Rani selalu mengiginkan Rani lebih dari yang lain dan tak pernah
memikirkan apa keinginan anaknya. Andai hanya sedikit kepercayaan yang
diberikan kepadanya mungkin Rani tak akan seperti ini. Dia hampir seperti orang
yang putus harapan bahkan ia pernah di temukan oleh polisi setempat bahwa Rani
mencoba untuk bunuh diri, dengan gantung diri, loncat dari atas jembatan dan
lainnya.
Itu
adalah sepenggal ceritaku yang terjadi setelah sikap ayah dan ibu selalu seperti
itu. Sekarang, hampir setiap hari ibu selalu membanding-bandingkan aku dengan
saudaraku, temanku, bahkan dengan orang yang tidak aku kenal. Dan itu terjadi
hanya karena nilai pelajaranku, hal ini terjadi setiap menjelang pengambilan
rapor meski nilaiku sudah bagus. Andai mereka tahu kenyataan mengenai isi
hatiku apakah mereka akan berubah, atau justru memarahiku seperti biasanya.
Andai aku bisa pergi dari kenyataan ini aku ingin pergi tanpa membawa beban
ini. Andai aku dapat menyandarkan kepalaku di bahu Mu aku ingin melakukan itu.
Setidaknya aku tahu bahwa cobaan yang Kau berikan kepadaku tak akan
melebihi kemampuanku. Ibu andai engkau
tahu semua keinginanmu seperti beban bagiku. Tapi pada kenyataannya bukan hanya
ibuku yang menganggapku seperti bonekanya namun ayah pun begitu, demi
kelangsungan bisnisnya ia rela mengorbankan puntri sematawayangnya. Iya, aku
memang anak sematawayang.
Karena
aku telah lelah dengan semua ini maka aku putuskan untuk pergi dari rumah. Semua
ini terus berlanjut sampai ia datang, saat aku pergi ke pesantren milik pamanku
di Demak yaitu Pondok Pesantren Al- Alfi. Saat aku datang kesana tepat saat
diadakan pengajian, paman dengan wajah terkejut melihatku yang berdiri di depan
gerbang diam tanpa memutuskan untuk melangkah masuk atau pergi. Semua mata para
peserta pengajianpun ikut memandangku.
“Aku
sudah tidak tahu
mau kemana dan entah apa yang mereka fikirkan tentangku. Aku tak ingin membayangkannya karena
hanya ini yang aku punya.” Kataku dalam hati. Paman mulai berjalan meninggalkan mimbar
pengajian lalu berjalan
menuju arahku dan langsung memelukku.
“Paman
aku pergi dari rumah, bolehkah aku tinggal disini? Aku tak akan menyusahkan paman kok !’’ pintaku
kepada paman. Pamanlah yang paling tahu
atas kondisi yang aku alami. Dan saat itu juga paman memperbolehkanku untuk
tinggal di pesantrennya.
Kedatanganku
disambut baik oleh para santriwati disana, meski saat aku datang aku tak
memakai kerudung dan hanya menggunakan celana jins dan kaos polos. Di sana aku
belajar mengenai isi- isi dari Al – Quran dan disana pula aku mendapatkan banyak teman.
Waktu terus berlalu hingga suatu saat setelah pembelajaran selesai aku dan
teman-temanku pergi ke air terjun dekat pesantren, untuk bermain. Baju basah dan bersenang- senang
tanpa beban hanya itu yang dapat aku rasakan saat ini.
Sampai
akhirnya aku bertemu sekelompok santri putra yang sedang menghafal Al- Quran. Menurutku
itu sungguh luar biasa.
“
Aku menyukainya” hanya itu yang terpikirkan olehku.
Tanpa
ku sadari dia dan teman-temannya mengetahui keberadaanku dan tema-temanku tanpa
berfikir panjang kami pun bergegas pergi meninggalkan tempat itu. Berhubung ini
hari ramadhan pesantren mengadakan acara ramadhan, banyak acara yang akan
diadakan, salah satunya santriwati dan santriputra
akan mengadakan sebuah drama yaitu drama mengenai Nabi Ayub As. Nabi yang
memiliki kesabaran yang luar biasa dalam menghadapi cobaan yang diberikan Allah
SWT. Malam telah tiba dan tanpa ku sadari aku bertemu lagi dengannya, entah
apakah ia mengenalku tapi dia menatapku.
“Apakah
dia tahu aku yang bertemu dengannya di sana ?” gumamku di dalam hati.
Aku
bergegas pergi tapi dia menarik tanganku dan dia bertanya siapa namaku.
“Rani.” sambil berlari aku menjawab
pertanyaannya.
Apakah
ini awal kembali kisahku. Setelah kejadian itu kami pun berteman. Ternyata dia
anak salah satu kyai di pesantren ini, ia bernama qohar. kami mulai menjalani
ta’aruf, paman dan Kyai Maulana ayah dari Qohar pun setuju.
3
tahun kemudian.
Aku
bahkan tak pernah bertemu dengan kedua orang tuaku dan itu menurutku baik namun
rasa rindu seorang anak tetap ada di hatiku. Tapi ternyata tak selamanya aku
tidak bertemu kedua orang tuaku. Tepat saat prosesi lamaranku terjadi, ibu dan
ayah datang. Aku pikir mereka telah berubah ternyata semua kenyataan itu
terjadi. Mereka tak merestui hubunganku dengan Qohar bahkan ayah dan ibu membawa Didi, anak dari
teman ayah yang akan dijodohkan denganku meski ia kaya tapi tak beragama. Ayah
memukul Qohar, dan mengatainya di depan umum, ayah bahkan membawaku keluar
pesantren meski paman telah mengingatkan
ayah, tetap saja ayah melakukannya. Hanya dapat menatapnya, menangis dan terdiam
dan sekali lagi orang tuaku melampiaskan keinginannya kepadaku.
Qohar
berlari menyusul ayah dan meminta agar ayah mengembalikan ku kepada paman. “Apa
itu yang anda mau? apa itu yang anda inginkan ? tak bisakah anda melihat
penderitaan anak anda dari matanya.” Kata qohar sambil terus mengejar aku dan
ayah.
Andai aku bisa mengatakan bahwa aku lelah
dengan semua ini. Aku hanya mampu melihat ayah dan Qohar bertengkar, tak kukira
Qohar menyuruhku untuk mengatakan apa yang aku sedang kurasakan selama ini.
“
katakanlah Rani, katakanla.” dengan penuh keyakinan aku mengatakan semua isi hatiku dan akhirnya
mereka mengerti akan keadaanku sesungguhnya, mereka memelukku, dan menangis
bersamaku.
“Terimakasih.”
Hanya
itu yang bisa aku katakan kepada Allah. Setelah itu ibu menjadi
pendampingku dalam prosesi lamaranku dan
ayah menjadi waliku, sebenarnya Didi telah tahu akan semua keadaanku dan
keluargaku maka dari itu ia memutuskan untuk menjadi temanku dan duduk sebagai
salah satu saksi di lamaranku. Hal ini adalah hadiah terindah dariNya. Aku dan
keluargaku akhirnya hidup dalam kasih sayang
yang indah.
Oleh : Nur Aini Dewi
Komentar
Posting Komentar